Dalam satu dekade terakhir, kehadiran perusahaan layanan digital seperti Gojek dan Grab telah merevolusi lanskap transportasi dan jasa pengriman/logistik di Indonesia. Mereka menawarkan efisiensi, kecepatan, dan kenyamanan yang sebelumnya sulit diakses oleh masyarakat luas. Namun, di balik kemudahan itu, tersembunyi dilema yang rumit antara kepentingan bisnis perusahaan dan kesejahteraan para driver yang mereka sebut sebagai “mitra”.
Secara hukum, para driver bukanlah karyawan tetap melainkan mitra usaha. Dengan status ini, perusahaan terbebas dari kewajiban memberikan upah minimum, tunjangan tetap, jaminan sosial, dan hak-hak ketenagakerjaan lainnya. Namun dalam praktiknya, perusahaan mengatur banyak aspek kerja driver: mulai dari algoritma penugasan, insentif, hingga sistem penalti. Ini menciptakan relasi yang kompleks—di mana perusahaan memiliki kendali ketat, namun menghindari tanggung jawab formal sebagai pemberi kerja. Meskipun sebagai mitra, tapi idealnya bermitralah yang baik, saling menguntungkan.
Dari sisi bisnis, perusahaan platform digital dituntut untuk tumbuh memperluas ekosistem dengan cepat, menjaga keseimbangan pengeluaran dan keuntungan, dan menarik bagi investor. Untuk itu, efisiensi biaya menjadi salah satu kunci, termasuk dalam penentuan tarif jasa dan pembagian komisi dengan driver. Namun di sisi lain, para driver semakin menyuarakan kekecewaan atas rendahnya tarif, tingginya potongan komisi, dan beban kerja yang berat. Tidak jarang terjadi aksi unjuk rasa, boikot aplikasi, hingga mogok massal.
Perusahaan berada dalam posisi dilematis: menyesuaikan skema insentif agar tetap kompetitif di mata investor, tapi juga tidak boleh mengabaikan kesejahteraan mitra sebagai penggerak utama operasional mereka. Sebab, loyalitas dan kepuasan driver berdampak langsung pada kualitas layanan dan persepsi publik. Isu sosial semacam “eksploitasi digital” atau “perbudakan modern berbasis aplikasi” dapat menjadi bumerang reputasi yang akan dibayar mahal .
Selain itu, tekanan dari pemerintah dan masyarakat pun mulai meningkat. Banyak pihak mendorong agar status hukum driver diperjelas dan regulasi baru diterbitkan demi melindungi mereka. Beberapa negara bahkan telah mulai mengkategorikan driver aplikasi sebagai pekerja dengan hak-hak dasar tertentu. Jika arah ini diikuti di Indonesia, perusahaan harus siap menghadapi lonjakan beban biaya dan perubahan drastis dalam model operasionalnya.
Dilema ini menunjukkan bahwa ekonomi digital tidak selalu bebas dari problematika klasik hubungan kerja. Justru, bentuk bisnis platform digital memperumit garis batas antara bekerja sebagai pegawai/karyawan dan sebagai mitra. Ke depan, perlu ada dialog jujur dan terbuka antara perusahaan, para driver dan pemerintah sebagai regulator. Solusinya bukan semata pada regulasi atau protes, melainkan pada perumusan ulang sistem kemitraan/kepegawaian yang benar-benar adil, transparan, dan berkelanjutan.
Sebab pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi digital hanya akan bermakna jika memberi manfaat tidak hanya bagi pemegang saham, tetapi juga bagi mereka yang menjalankan roda di lapangan yaitu para driver.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar