Rabu, 14 Mei 2025

Dilema Antara Driver dan Kepentingan Perusahaan Platform Layanan Digital di Indonesia

    Dalam satu dekade terakhir, kehadiran perusahaan layanan digital seperti Gojek dan Grab telah merevolusi lanskap transportasi dan jasa pengriman/logistik di Indonesia. Mereka menawarkan efisiensi, kecepatan, dan kenyamanan yang sebelumnya sulit diakses oleh masyarakat luas. Namun, di balik kemudahan itu, tersembunyi dilema yang rumit antara kepentingan bisnis perusahaan dan kesejahteraan para driver yang mereka sebut sebagai “mitra”.

    Secara hukum, para driver bukanlah karyawan tetap melainkan mitra usaha. Dengan status ini, perusahaan terbebas dari kewajiban memberikan upah minimum, tunjangan tetap, jaminan sosial, dan hak-hak ketenagakerjaan lainnya. Namun dalam praktiknya, perusahaan mengatur banyak aspek kerja driver: mulai dari algoritma penugasan, insentif, hingga sistem penalti. Ini menciptakan relasi yang kompleks—di mana perusahaan memiliki kendali ketat, namun menghindari tanggung jawab formal sebagai pemberi kerja. Meskipun sebagai mitra, tapi idealnya bermitralah yang baik, saling menguntungkan.

    Dari sisi bisnis, perusahaan platform digital dituntut untuk tumbuh memperluas ekosistem dengan cepat, menjaga keseimbangan pengeluaran dan keuntungan, dan menarik bagi investor. Untuk itu, efisiensi biaya menjadi salah satu kunci, termasuk dalam penentuan tarif jasa dan pembagian komisi dengan driver. Namun di sisi lain, para driver semakin menyuarakan kekecewaan atas rendahnya tarif, tingginya potongan komisi, dan beban kerja yang berat. Tidak jarang terjadi aksi unjuk rasa, boikot aplikasi, hingga mogok massal.

    Perusahaan berada dalam posisi dilematis: menyesuaikan skema insentif agar tetap kompetitif di mata investor, tapi juga tidak boleh mengabaikan kesejahteraan mitra sebagai penggerak utama operasional mereka. Sebab, loyalitas dan kepuasan driver berdampak langsung pada kualitas layanan dan persepsi publik. Isu sosial semacam “eksploitasi digital” atau “perbudakan modern berbasis aplikasi” dapat menjadi bumerang reputasi yang akan dibayar mahal .

    Selain itu, tekanan dari pemerintah dan masyarakat pun mulai meningkat. Banyak pihak mendorong agar status hukum driver diperjelas dan regulasi baru diterbitkan demi melindungi mereka. Beberapa negara bahkan telah mulai mengkategorikan driver aplikasi sebagai pekerja dengan hak-hak dasar tertentu. Jika arah ini diikuti di Indonesia, perusahaan harus siap menghadapi lonjakan beban biaya dan perubahan drastis dalam model operasionalnya.

    Dilema ini menunjukkan bahwa ekonomi digital tidak selalu bebas dari problematika klasik hubungan kerja. Justru, bentuk bisnis platform digital memperumit garis batas antara bekerja sebagai pegawai/karyawan dan sebagai mitra. Ke depan, perlu ada dialog jujur dan terbuka antara perusahaan,  para driver dan pemerintah sebagai regulator. Solusinya bukan semata pada regulasi atau protes, melainkan pada perumusan ulang sistem kemitraan/kepegawaian yang benar-benar adil, transparan, dan berkelanjutan.

    Sebab pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi digital hanya akan bermakna jika memberi manfaat tidak hanya bagi pemegang saham, tetapi juga bagi mereka yang menjalankan roda di lapangan yaitu para driver.

Menjadi Kader Muhammadiyah Berarti Menjadi Manusia yang Tercerahkan

Refleksi Pascakegiatan Baitul Arqam Pegawai

Kegiatan Baitul Arqam bukan sekadar ujian Al-Islam dan Kemuhammadiyahan semata tapi juga forum penguatan ideologi, pemahaman keislaman, serta pembentukan karakter dan jati diri sebagai kader persyarikatan. 

Setelah kontemplasi pascakegiatan tersebut, muncul sebuah refleksi bahwa "Menjadi kader Muhammadiyah berarti menjadi manusia yang tercerahkan." ungkapan ini merupakan refleksi dari akumulasi nilai-nilai mendasar yang diusung oleh Muhammadiyah sejak awal berdirinya.


Makna Pencerahan dalam Konteks Muhammadiyah

Muhammadiyah lahir sebagai gerakan Islam yang membawa semangat tajdid (pembaruan) dalam berbagai dimensi kehidupan umat yang mengalami kegelapan spiritual dan sosial. K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri tidak hanya membangun organisasi, tetapi juga membangun kesadaran umat untuk bangkit dari keterbelakangan berpikir, keterbelakangan sosial, dan stagnasi spiritual. Dalam konteks inilah, pencerahan berarti membangkitkan nalar kritis berkemajuan, menguatkan spiritualitas dalam ketauhidan, serta menghadirkan amal nyata bagi umat, bangsa dan alam semesta.

Seorang kader Muhammadiyah tidak cukup hanya memahami ajaran Islam secara ritual, tetapi juga harus mampu menghidupkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan pribadi, sosial, dan kebangsaan. Pencerahan adalah kemampuan untuk melihat kehidupan ini dengan dasar nilai-nilai Islam yang sebenarnya dalam mengambil sikap dan keputusan.


Menjadi Manusia yang Tercerahkan

Menjadi manusia yg tercerahkan berarti menjadi manusia yang terbuka hati dan pikirannya dengan ajaran Islam, sehingga tau mana yang benar mana yg salah, mana yang harus dilakukan mana yang tidak perlu dilakukan, mana yang baik mana yang buruk. Seorang kader tercerahkan akan selalu berupaya memperbaiki diri serta lingkungannya dengan semangat fastabiqul khairat.

Pencerahan inilah yang membedakan kader Muhammadiyah dari sekadar aktivis organisasi. Kader yang tercerahkan tidak hanya memiliki kesadaran ideologis dan spiritual yang mendalam tapi juga loyal pada struktur gerakan persyarikatan. Ia memahami bahwa keberadaannya di Muhammadiyah bukan untuk mencari kehormatan dunia, melainkan untuk berjuang menegakkan nilai Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.